About me

Feeds RSS
Feeds RSS

Monday, February 23, 2015

CerPen : Teman Tak Berwujud ~ febmilar1802.blogspot.com



Mentari pagi menyelinap menembus celah-celah jendela kaca rumahku. Embun-embun masih menempel di dedaunan. Mungkin bagi sebagian anak sedang sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Tapi tidak denganku. Kubuka kedua mataku, semua sama saja. Gelap dan sunyi. Ya, inilah duniaku. Dunia yang begitu hambar, tak ada warna menghiasi dan cahaya menerangi. Yang ada hanyalah kegelapan. Ingin sekali aku melihat keindahan dunia. Melihat burung-burung berterbangan di awan, dan menyaksikan tetesan embun berjatuhan di dahan. Sungguh beruntung bagi mereka yang di anugrahi penglihatan. Terkadang aku iri dan beranggapan bahwa Tuhan tidak adil.
Tanganku meraba-raba meraih sesuatu di samping tempat tidurku. Inilah teman sejatiku. Tongkat yang selalu setia menemaniku kemanapun aku pergi. Aku lebih sering menghabiskan waktuku membaca buku. Meraba huruf braile kata demi kata. Ketimbang bermain dengan teman sebayaku. Tak ada yang mau berteman denganku. Pernah aku mencoba bermain dengan mereka, tapi mereka malah mengusirku. Hingga suatu saat datanglah Willy. Dia adalah teman pertamaku, yang ikhlas mau berteman dengan gadis cacat sepertiku. Waktu itu aku sedang bermain di taman dekat rumahku. Saat itulah, pertama kalinya aku mengenal Willy. Kami berteman sangat dekat. Hampir setiap sore aku dan Willy menghabiskan waktu di taman itu. Tepatnya saat Willy pulang sekolah.
“Jess, apakah kau menyukai bunga?”, Tanya Willy padaku.
“ya, tentu. Aku sangat suka baunya”, jawabku.
“Jessy, coba kau cium ini”, ujarnya sambil memberikan suatu benda ke tanganku.
“waaahh, harum sekali bunga ini. Bunga apakah ini?”, tanyaku sambil mengendus bunga yang ku pegang.
“ini mawar putih Jess. Bukan baunya saja, tapi bentuknya juga sangat indah. Coba deh kamu raba”, titah Willy seraya membimbing tanganku menyentuh bunga itu.
“iya Will. Hah, andai saja aku bias melihat”, eluhku.
“Jess, seharusnya kamu bersyukur telah dianugrahi kehidupan di dunia ini. Ya, walaupun tak sempurna. Ketahuilah Jess, hidup itu anugrah yang terindah yang Tuhan berikan untuk kita”, Willy mengingatkan.
“makasih ya Will, buat semuanya. Kamu mau terima aku jadi temenmu”, kataku.
“iya, lagian aku seneng kok berteman sama kamu. Kamu suka bunganya nggak”, Tanya Willy. Aku mengangguk.
“ya udah, mulai besok aku bakalan ngirimin kamu mawar putih setiap hari”, ujar Willy.
“wah, asyik dong. Aku bisa nikmatin bau mawar putih tanpa harus ke taman ini. Will, tau nggak. Setiap aku bicara sama kamu, aku ngerasa kayak lagi ngomong sama hawa (roh)”, ungkapku.
“kok bisa”, Tanya Willy heran.
“iya. Aku kan Cuma dengar suara kamu. Aku nggak bisa lihat kamu. Kamu itu seperti teman tak berwujud Will. Cuma ada suaranya tapi nggak ada orangnya”, kataku cekikikan.
“oh, jadi kamu mau bilang aku itu kayak hantu gitu”, cemberut Willy, membuatku cekakaan.
“enggak. Bukan gitu”, sanggahku.
“kamu pengen tau aku. Sini tangan kamu”, kata Willy memegang tanganku dan menaruh di wajahnya.
“sekarang kamu bayangin aja wajah aku”, titahnya. Aku meraba wajahnya. Sepertinya dia cowok yang tampan.
“nah, sekarang aku yakin kalau kamu bukan hantu” kataku.
Hari sudah sore Willy mengantarku pulang.
“selamat sore Jessy. Sampai bertemu besok”, salamnya. Ya, begitulah hari-hariku setelah kedatangan Willy. Jauh lebih menyenangkan.
Suatu ketika, mama memberitahuku. Mataku akan segera di operasi. Bukan main senangnya aku. Sebentar lagi aku bisa melihat. Mewujudkan semua impianku. Sore itu aku bertemu dengan Willy.
“Will, kamu tau nggak. Aku sebentar lagi akan dioperasi. Itu artinya aku akan segera bisa melihat kamu”, kataku senang.
“oh ya. Selamat ya Jess. Akhirnya semua impian kamu akan terkabul”, serunya senang.
“iya Will. Aku bahagia sekali”, ujarku. Tiba-tiba Willy terdiam. Sesaat tak ada suara.
“Will. Kamu kenapa. Ada masalah apa. Kamu nggak senang ya aku dioperasi”, kebahagiaanku mulai surut.
“nggak. Bukan itu Jess. Sebentar lagi aku akan pindah. Mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi”, kata Willy.
“pindah?, kamu mau pindah kemana Will. Kasih tau aku. Agar aku bisa mencari kamu nanti”, ujarku.
“nggak mungkin Jessy. Aku pindah ke suatu tempat yang sangat kecil. Rumah baruku nanti jauh lebih kecil daripada yang sekarang. Disana sangat sunyi bahkan sangat gelap”, terang Willy. Nada bicaranya terlihat sedih.
“kok bisa”, tanyaku heran.
“iya. Tempat itu sangat jauh. Kamu tidak akan pernah bisa ke rumah baruku. Aku Cuma sendirian. Mama sama papa nggak ikut”, aku semakin tak mengerti dengan ucapan Willy.
“nggak mungkin, pasti bisa Will. Lagian nantikan aku sudah bisa melihat. Aku pasti bisa mencari rumah kamu Will”, sangkalku. Sesaat tak ada suara.
“terserah kamulah. Ini pertemuan terakhir kita. Tapi aku janji, akan selalu mengirimi mawar putih setiap pagi untukmu”, Willy menyerah. Nada bicaranya putus asa.
“ya sudah, sudah sore. Aku pulang dulu ya. Aku harus mempersiapkan barang-barangku untuk pindah nanti”, kata-kata Willy terdengar sangat berat di telingaku. Itu berarti aku akan kehilangan sahabat baikku.
“Willy”, rengekku. Mencegahnya yang mulai berdiri dan hendak pergi meninggalkanku untuk duduk kembali.
“iya ada apa”, ucapnya lembut. Aku meraba-raba mencarinya.
“aku disini Jess”, ujarnya. Sambil memegang tanganku.
“kamu jangan pernah lupakan aku yah”, aku tak kuasa menahan air mataku. Willy merangkulku. Ia meraih kepalaku dan menyandarkan ke pundaknya. Willy membelai rambutku.
“nggak akan pernah Jessy”, ucapnya. Willy mencium rambutku, setetes air membasahi kulit kepalaku. Aku yakin Willy sedang menangis.
“selamat tinggal Jessy”, ia melepas rangkulannya dan pergi. Aku memanggil-manggilnya. Ia tak perduli lagi. Ku dengar langkah kakinya semakin jauh. Aku menangis. Aku sedih sekali, sahabat satu-satunya dan yang sangat aku sayangi pergi meninggalkanku.
Aku terbaring di sebuah ranjang. Seseorang memegang tanganku. Tangan itu juga mengelus-elus rambutku. Beberapa kali ia menciummi tangan dan rambutku. Dia mamaku.
“sayang, sebentar lagi kamu bisa melihat”, ujar mamaku. Ia memelukku.
“bagaimana Jess. Apa kamu sudah siap melihat dunia barumu?”, Tanya dokter John. Dokter yang telah mengoperasi mataku.
“iya dok. Sangat siap”, seruku bersemangat. Aku tak sabar lagi menunggu dokter John membuka perban mataku.
“krekk… krekk… krekk”. Terdengar suara gunting memotong perban mataku. Hatiku semakin tak menentu. Dokter John membuka perban. Kepalaku terasa sangat ringan saat lapisan-lapisan perban itu lepas dari kepalaku. Dokter John, menyuruhku membuka mata.
Ku buka mataku pelan-pelan. Cahaya masuk ke mataku. Perlahan-lahan pandanganku yang buram mulai jelas. Aku berada di ruangan serba putih. Terlihat seseorang yang begitu cantik, dengan parasnya yang keibuan.
“mama”, panggilku.
“sayang, kamu bisa lihat mama”, beliau langsung memelukku dan menangis, aku pun juga. Dokter John, hanya menatap haru. Aku sangat bahagia. Karena pada saat ini, aku bisa melihat wajah orang yang melahirkanku.
Satu minggu berlalu, Pagi-pagi ku buka pintu rumahku. setangkai mawar putih dan sebuah kertas biru langit di bawahnya, tergeletak begitu saja. Aku mengambil dan membacanya.
“MAWAR YANG INDAH, UNTUK SESEORANG YANG ISTIMEWA”, tertulis di bawah kertas itu. WILLY. Aku terlonjak kegirangan. Dia masih mengingatku. Aku ingin segera menemuinya.
Di suatu hari yang cerah, aku mendatangi sebuah rumah. Itu rumah Willy. Ia memberiku alamat rumahnya sehari sebelum pindah. Ku ketuk pintu rumahnya. Seseorang membuka pintu. Wajahnya cantik dan keibuan. Ia mempersilahkan masuk.
“Jessy ya”, tebaknya. Aku mengangguk. Tanpa harus memperkenalkan diri, beliau sudah tau aku.
“Willynya kemana tante”, Tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan sahabatku itu. Tiba-tiba wajah ibu itu mendung seketika.
“Willy bilang dia pindah. Apa aku boleh meminta alamat rumahnya”, kataku bersemangat.
“sebentar ya Jess”, ibu itu masuk ke dalam lalu keluar membawa sebuah tempat foto yang di dalamnya terdapat foto seseorang. Ibu itu menyerahkannya padaku.
“itu Willy Jes”, aku tak percaya. Ku perhatikan foto itu. Willy begitu tinggi, kulitnya bersih putih, ia juga berlesung pipit. Dan rambutnya yang cepak membuatnya terlihat sangat tampan. Bibirnya tipis kecil, senyumnya begitu menawan. Willy mengenakan seragam putih abu-abunya. Tiba-tiba ibu itu menangis sesenggukan. Ia kemudian menceritakan semuanya.
Oh… TidaakKK!! Tubuhku melemas. Ternyata mata yang saat ini aku pakai, adalah mata Willy. Ia mendonorkan kornea matanya untukku. Dia meninggal tepat pada saat aku operasi. Tumor ganas yang sudah bersarang di otaknya tak mampu lagi di lawan. Willy mengidap penyakit tersebut sudah 4 tahun.
Ku peluk foto itu erat-erat. Aku menangis. Tubuhku beringsut di sofa. Ibu itu menghampiriku dan memelukku.
“kamu masih kuat kan?”, Tanya ibu itu. Aku mengangguk. Beliau mengajakku berdiri. Dengan susah payah kulangkahkan kaki, semuanya terasa berat. Kami pergi ke tempat pemakaman dimana Willy disemayamkan. Aku menghambur kegundukan tanah itu. Tertulis di batu nisan, “Willy Sanjaya bin Suryo. Lahir 7 Juni 1993. Wafat tanggal 26 Juli 2010”, aku menangis disana. Tubuhku serasa lemas. Ibu itu pergi meninggalkanku. Aku berteriak-teriak memanggil nama Willy. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
“sudah, ikhlassin aja”, ucap orang itu. Aku menoleh.
“kamu”, aku tersentak kaget. Cowok itu persis Willy. Sangat mirip. Ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Tidakk munggkiinn…!!! Aku pasti sedang berhalusinasi. Itu pasti bukan Willy. Kalau dia Willy, terus yang di dalam sana siapa?.
“kamu Willy”, aku meyakinkan. Cowok itu tersenyum simpul.
“bukan. Aku Billy”, aku masih tak mengerti.
“aku saudara kembarnya”, terangnya lagi. Aku benar-benar tak percaya. Bagaimana mingkin. Willy tak pernah menceritakan hal ini kepadaku. Aku menatap batu nisan itu.
“semenjak dia pergi, aku yang menggantikannya mengirimimu mawar putih dan surat-surat itu”, terangnya. Aku semakin bingung. Kepalaku pusing. Tubuhku lemas dan bruuukkk…!!!. Sebuah tangan kokoh menyanggah tubuhku. Billy memanggil-manggilku. Ia menepuk-nepuk pipiku. Namun semuanya semakin gelap dan gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu.


0 comments:

Post a Comment