About me

Feeds RSS
Feeds RSS

Monday, February 23, 2015

CerPen : Kasih Sayang Seorang Ibu ~ febmilar1802.blogspot.com

Cerpen Kasih Sayang Seorang Ibu 

Bunda. Begitulah panggilan sayangku kepada wanita yang telah mengandungku. Wanita yang mempertaruhkan hidupnya demi aku. Wanita yang rela tidak tidur demi menjagaku. Wanita yang akan terbangun karena tangisku. Wanita yang setiap saat selalu mengkhawatirkanku. Wanita yang memperjuangkan hidup matinya hanya untukku. Wanita yang membesarkanku. Wanita yang setia mendengar keluh kesahku. Wanita yang bahunya selalu tersandar kesedihanku. Wanita yang seorang diri mendidikku. Seorang diri, ya seorang diri. Ayahku telah berpulang ke Rahmatullah ketika aku masih kecil. Dan hingga saat ini bunda tak pernah berfikir untuk mencari pengganti ayah.

            “Saat ini hidup bunda hanya untuk putri bunda yang cantik ini”
Kalimat tersebut yang selalu diucapkan bunda ketika ku Tanya mengenai ayah. Kalimat itu yang membuatku bertahan dengan keadaan ini, keadaan yang hanya mempunyai satu orang tua. Dan kalimat itu pula yang membuatku bangga mempunyai orang tua seperti bunda. Bunda pahlawanku. Beliau rela membanting tulang untuk menjadikanku seorang yang berpendidikan. Apapun akan bunda kerjakan asalkan halal. Bunda, Ais sangat menyayangi bunda.
---- * ----
“Assalamu’alaikum” Suara itu terdengar di balik pintu.
“Wa’alaikum Salam” Jawab bunda dari dapur.
"Bunda ke depan dulu ya Ais" Pamit bunda kepadaku yang saat itu juga berada di dapur membantu bunda memasak.

            "Iya bunda" Jawabku dengan senyum manja.
Bunda berjalan keluar meninggalkan dapur.
            “Bu Risa nak Fikri. Masuk, masuk” Ucap bunda setelah membuka pintu dan melihat seseorang di baliknya.

Ternyata yang datang adalah sahabat bunda dengan putranya.
            “Apa kabar bu Risa?” Tanya bunda sesaat setelah mempersilahkan duduk kedua tamu tersebut.
            “Alhamdulillah baik bu. Bu Rahmah sendiri bagaimana kabarnya?"
            “Alhamdulillah juga bu. Lama nih ibu ndak ke rumah saya. Sudah lupa ya sama saya?”
            “MassyaAllah.. ndak mungkin bu, hanya saja rumah saya kan agak jauh dari sini, yang mengantar itu ndak ada. Ini saja kebetulan Fikri ada perlu di daerah sini. Saya minta ikut, sekalian silaturahmi dengan ibu.”
Aku yang berada di dapur segera membuatkan minuman untuk tamu bunda. Setelah selesai membuatnya, segera ku antar kedepan. Saat aku menyuguhkan minuman di atas meja, segera kucium tangan sahabat bunda ini.

            “Ini Aisyah putri kecil ibu yang dulu?” Tanya sahabat bunda.
Aku hanya tersenyum mendengarnya, dan kembali ke dapur.
            “Iya bu, itu Aisyah yang sering ibu gendong dulu” Jawab bunda.
            “Sekarang sudah besar. Cantik dan terlihat sholihah lagi.”
Setelah lama berbicara banyak hal, sahabat bunda berpamitan pulang.
            "Saya pulang dulu ya bu Rahmah."
            "Iya bu, hati-hati." Jawab bunda dengan ramah.
            “Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumsalam”
Bunda kembali ke dapur setelah menutup pintu.

            “Aisyah” Panggil bunda lirih.
            “Dalem bunda”
            “Bu Risa senang melihatmu nak, dan menginginkan Aisyah menjadi menantunya.”
Akupun terkejut mendengarnya.

            “Bu Risa mempunyai putra. Namanya Fikri. Dia Sarjana teknik, dan agamanya bagus . Saat ini Fikri mengajar di salah satu SMA Negeri.” Sambung bunda kepadaku.

            “Bunda, Aisyah kan belum mengenalnya. Mungkin Fikri juga belum mengenal Aisyah.”
            “Fikri sudah mengenal Aisyah katanya. Ia tadi yang duduk di sebelahnya Bu Risa. Fikirkan dulu ya nak, minta petunjuk sama Allah.”
            “InsyaAllah bund.” Jawabku dan langsung meninggalkan dapur menuju kamar.

Keesokan harinya aku menemui bunda.

            “Bund, Ais mau menerima lamaran itu. Tapi izinkan Ais untuk berta’aruf dulu dengan Fikri.”
            “Alhamdulillah. Iya pasti nak.” Jawab bunda senang.
Setelah itu aku dan fikri menjalankan ta’aruf. Pendekatan yang tetap dalam batas-batas islam. Dari ta’aruf itu aku dan fikri saling mengenal sifat satu sama lain. Dan perlahan rasa cinta itu mulai tumbuh untuk Fikri yang sangat penyabar. Selang 3 bulan kami berta’aruf, Fikri melamarku dan setelah itu kami menikah.

            "Saya terima nikah dan kawinnya Aisyatur Rahmah bin Syamsudin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an di bayar tunai"
            "Syah.. Syah.."
           "Alhamdulillah…"

Jawab semua tamu yang hadir. Wajah bahagia bercampur haru terlihat dari semua undangan. Akupun memeluk bunda yang saat itu berada di sampingku.


** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **

            "Bund, Ais ingin bicara sama bunda"
            "Bicara apa Ais ?"
            "Bund, Kang Fikri di pindah tugaskan mengajar ke Sumatra. Dan itu dalam kurun waktu yang cukup lama. Ais ingin menemani kang Fikri. Tapi Ais ndak mungkin meninggalkan bunda sendiri di sini. Bunda ikut dengan kami ya."

Bunda hanya tersenyum. Aku tak mengerti maksud dari senyuman bunda.
            "Aisyah, itu sudah kewajiban Ais sebagai istri untuk menemani kemanapun suamimu pergi nak. Bunda ndak ingin meninggalkan rumah ini. Terlalu banyak kenangan yang tidak bisa bunda tinggalkan di rumah ini"Jawab bunda lembut.

            "Bagaimana mungkin Ais bisa meninggalkan bunda di sini sendirian ?"
            "Kan ada Allah yang selalu menemani bunda. Ais kan nanti juga bisa telpon bunda dari sana nak"
            "Tapi bund…."

            "Bunda tidak kenapa-napa Ais. Bunda tidak akan pernah meninggalkan rumah  ini. Dan kamu harus mengikuti suamimu” Ucap bunda marah.
Seketika aku terdiam setelah mendengar bunda berkata seperti itu. Bunda pergi meninggalkanku menuju kamarnya.
            “ Astagfirullah.. aku telah membuat bunda marah. Maafkan Aisyah bunda” Lirihku.

** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **

Hari ini aku dan suamiku harus meninggalkan kota kecilku ini dan meninggalkan bunda.
            “Bunda kami pamit dulu. Do’akan kami ya bund” pamit suamiku pada bunda.
Bunda tersenyum dan memeluk kang Fikri.

            “Jaga diri baik-baik ya fikri, Bunda titip Aisyah ya” Ucap bunda dalam pelukannya.
Aku memeluk bunda dengan tangisku.

            “Bunda baik-baik ya disini. Kalau terjadi sesuatu segera kabari Ais ya bund”
            “Beres boss..” Canda bunda, yang berhasil membuatku sedikit tersenyum.
Akupun harus segera pergi.
** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **


 Setelah menempuh perjalan yang  melelahkan, akhirnya kami tiba di Sumatra. Dan aku langsung mengabari bunda. Dengan nada senang bunda mengucap Alhamdulillah.
Hari-hari pertamaku di Sumatra sangat berbeda. Aku selalu teringat bunda, bunda, dan bunda. Hampir setiap hari dalam bulan pertamaku di sini, aku selalalu menelpon bunda. Hingga suatu hari bunda marah karena tinggahku itu.

            "Sampai kapan kamu terus bergantung sama bunda. Kamu harus bisa mandiri tanpa bunda. Jangan nelpon bunda jika tidak ada keperluan ya Ais. Kamu harus fokus sama keluargamu, karena itu kewajibanmu." Ucap bunda di seberang telpon dengan nada sedikit keras dan kemudian telpon itu di tutup.

            "Oh Rabb.. lagi-lagi aku membuat bunda marah. Tapi kenapa bunda harus marah dengan sikapku yang terbilang wajar untuk anak sematawayang kepada ibunya ?. mana yang salah dari sikapku. Atau aku memang terlalu berlebihan. Tapi bukankah dulu bunda sangat senang jika aku manja kepadanya. Kenapa sekarang tidak. Apa bunda tidak sayang lagi sama aku ?. YaAllah beri petunjukMu..”

Akupun menuruti semua keinginan bunda untuk tidak ku telpon. Tak bisa ku pungkiri aku sungguh merindukan bunda. Bunda sedang apa di sana, sehatkah bundaku. Makankah hari ini. Oh bunda, andaikan bunda tau Ais di sini sanggat merindukan bunda.

Kring..Kring..Kring..

Telpon rumahku berbunyi. Segera ku berlari untuk mengangkatnya dan berharap itu dari bunda.

            “Assalamu’alaikum” Sapaku.
            “Wa’alaikumsalam” Jawab orang di seberang telpon.
            “Aisyah, ini ibu nak. Kamu sekeluarga sehat?”

Ternyata ibu mertuaku yang menelpon. Ibu memananyakan keadaanku sekeluarga dan memberitahu bahwa bundaku sakit dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit.
Setelah mendengar itu semua aku dan suamiku segera terbang menuju tempat bunda. Sesampainya di kampung halamanku, aku segera menuju rumah sakit tempat bunda di rawat. Ketika di rumah sakit aku bertemu dengan ibu mertuaku yang sudah beberapa hari ini menjaga bunda. Segera ku cium tangan mertuaku ini dan memeluknya.

"Bunda hanya kecapekan kata dokter. Darah rendahnya kambuh. Jadi bunda butuh istirahat beberapa hari di sini nak” Ucap ibu mertuaku menenangkanku.
Betapa aku sanggat sedih ketika melihat bunda terbaring lemas di rumah sakit. Ingin rasanya aku segera memeluknya dan menjaganya. Namun bunda di haruskan beristirahat dahulu. Akupun hanya melihatnya dari luar ruangan bunda.

            “Sudah sore Ais, ayo kita pulang dulu. Besok pagi kita ke sini lagi” Ajak suamiku.
Akupun  mengikuti suamiku untuk pulang kerumah bunda. Pertamakalinya aku menempati rumah ini lagi. Akupun menuju kamar bunda. Seperti biasanya kamar bunda selalu tertata rapi. Kupandangi setiap bingkai foto yang menancap di dinding-dinding kamar bunda yang wana catnya sudah mulai memudar. Terlihat foto pernikahan bunda bersama ayah. Terlihat pula foto ayah menggendong aku saat masih kecil. Tak terasa buliran-buliran air mata membasai pipiku.

Akupun merebahkan tubuhku di tempat tidur bunda. Mengingat masa-masa dimana aku tak bisa tidur jika tidak bersama bunda. Bunda Ais sungguh merindukan semua itu.
Pandanganku tertuju pada buku bersampul merah muda yang ada di meja bunda.

            “Buku apa itu?” Lirihku..
Akupun mengambil buku yang sedari tadi membuat aku penasaran ingin membukanya.
Ternyata itu diary bunda. Aku sedikit tersenyum ketika tau kalau bunda juga menulis diary seperti aku. Sebenarnya aku tak mau membukanya. Tapi aku ingin sekali membaca tulisan bunda. Dan akhirnya ku baca buku diary bunda itu.

            “Bunda maafkan Ais ya” Gumamku dalam hati.

Dear Allah
Allah.. tolong sampaikan kepada suamiku tercinta ya..

Abi, Hari ini putri kecil kita sudah bisa berjalan. Abi tau ndak, tingkahnya lucu sekali. Umi lagsung memakaikannya sepatu. Andai abi di sini, pasti abi sanggat senang melihatnya. Abi, putri kecil kita ini sanggat pintar sekali. Dia lebih dulu bisa berjalan dari teman-temannya. Mungkin akan lebih pintar lagi jika di sampingnya ada seorang ayah yeng mendampinginya
Abi rindu ndak sama putri kecil kita ?
Abi rindu ndak sama Umi ?
Disini umi dan putri kecil kita sanggat merindukan abi. Umi janji, umi akan mendidik putri kecil kita ini menjadi putri yang sholehah seperti yang abi impikan. Terkadang umi sanggat lelah menjalani semua ini sendirian abi. Namun semua lelah umi hilang ketika umi melihat putri kecil kita. Semoga semua ini menjadi kebahagiaan pula untuk abi di sana.
Salam sayang dan rindu dari Umi untuk Abi

Dear Abi
Abi, Umi harap abi senang di sana. Umi tau dengan umi menulis di kertas putih ini tak akan merubah semuanya. Namun hanya ini yang bisa umi lakukan selain berdo’a untuk abi. Hanya ini yang mampu mengurangi rasa rindu umi kepada abi.

Abi, putri kecil kita hari ini terjatuh dari sepeda. Lututnya berdarah, putri kecil kita terlihat kesakitan abi. Mungkin ini adalah kelalaian umi dalam menjaganya. Maafkan umi ya abi. Andai saja di sini ada abi, mungkin umi tak akan sekhawatir ini.

Oh Rabb.. ternyata bunda selalu menuliskan setiap  kejadian yang aku alami di kertas ini. Mungkin itu sebabnya bunda tak pernah menunjukkan raut wajah sedih dihadapanku. Aku melanjutkan membaca isi diary bunda.

Abi, putri kecil kita telah tumbuh dewasa.
Hari ini ia sedang di wisuda abi, umi tak menyangka umi bisa mendidiknya sejauh ini. Putri kecil kita ini sanggat sayang sama umi. Agamanyapun tak kalah hebat dengan umi. Bacaan Al-Qurannya lancar dan merdu.Putri kecil kita ini sudah hafal beberapa juz tanpa umi suruh sedikitpun untuk menghafal. Umi bangga mempunyai putri kecil kita ini. Mungkin jika abi disini, abi pasti juga bangga sama seperti umi.

Abi,
Hari ini adalah hari yang paling umi takutkan. Hari dimana putri kecil kita ini akan menjadi milik orang lain. Abi, umi tak rela, umi tak rela putri kecil kita ini menjadi milik orang. Rasanya baru kemarin putri kecil kita ini bisa berjalan, namun kenapa sekarang sudah sebesar ini. Abi, umi akan sendirian lagi, karena mungkin setelah putri kecil kita ini menikah, dia tak lagi bersama umi dan akan mengikuti suaminya. Jika umi boleh meminta, bawalah umi segera bersama abi di surga. Umi mohon abi. Umi tak sanggup bila harus berpisah dengan putri kecil kita ini.

Tak terasa buliran-buliran air mata ini keluar dan mengalir membasahi pipiku. Aku sedikit tak percaya dengan tulisan ini. Aku tak pernah melihat guratan rasa sedih di wajah indah bunda.  Hanya senyum-senyum manis bunda yang setiap hari ku lihat. Apa aku yang terlalu tak peka pada perasaan bunda? Apa aku yang tak pernah peduli dengan perasaan bunda? Apa aku yang selalu sibuk dengan perasaanku sendiri?
Bunda.. maafkan anak bunda ini yang mungkin tak pernah peduli dengan bunda. Robb.. Maafkan hambaMu ini..

Sebenarnya aku tak kuasa untuk membaca lagi isi dari diary bunda. Tapi entah mengapa ada rasa ingin melanjutkan untuk membacanya. Ku usap air mataku dan kulanjutkan membacaku.

Abi…
Hal yang umi khawatirkan kini menjadi kenyataan. Putri kecil kita ini sebentar lagi akan mengikuti suaminya bertugas di luar pulau. Sebenarnya umi tak inggin itu terjadi. Namun itu semua sudah menjadi kewajiban untuk putri kita, dan sudah menjadi  kewajiban umi untuk melepasnya. Abi, hati umi sedih ketika umi harus melepas putri kecil kita ini. Sepertinya umi tak sanggup jauh dari putri kita. Umi tahu kalau umi tak boleh seperti ini, tapi umi benar-benar tak mengerti harus berbuat apa.

Robbi.. Bantu hambaMu ini untuk mengikhlaskan putri kecilku. Sadarkan aku jika semua ini adalah titipanMu yang kapanpun Engkau mau mengambilnya, Engkau akan ambil dariku.

Dear putriku..
Bunda sendirian di rumah. Rumah ini semakin sepi saja tanpa adanya Ais  putri bunda. Sepi tanpa ada celotehan Ais, sepi tanpa ada gurauan Ais, sepi tanpa ada manjanya Ais, sepi tanpa ada curhatan Ais, sepi tanpa ada tawa senangnya Ais. Bunda rindu dengan celotehan, gurauan, manja, curhatan, tawa senangnya Ais.  Mungkinkah ketika Ais kembali, masih ada bunda di sini ? Mungkinkah bunda masih bisa mendengar celotehannya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa mendengar gurauannya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa merasakan sikap manjanya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa mendengar segala keluh kesahnya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa melihat tawa senangnya Ais ?

Ais, maafkan bunda nak. Bunda telah marah-marah terhadapmu. Sebenarnya bunda tak kuasa melakukan semua itu. Namun bunda harus melakukannya agar Ais bisa mandiri tanpa bunda. Karena suatu saat akan tiba dimana Ais akan kehilangan bunda untuk selamanya. Jika Ais bertanya apakah bunda merindukan Ais ? Jawabannya adalah sanggat nak. Dan jika Ais bertanya lebih rindu mana bunda terhadap Ais atau Allah ? Bunda dengan yakin akan menjawab Allah. Namun itu semua bukan berarti bunda tak menyayangimu nak. Bunda sanggat menyayangi Ais. Bunda bersyukur Ais telah memiliki pemimpin yang sungguh luar biasa dalam memimpinmu nak. Setidaknya bunda tak perlu khawatir jika bunda telah dipanggil oleh Allah nanti.
Ilahi.. aku ingin mendengar celotehannya, mendengar gurauannya, merasakan manjanya, mendengar curhatannya dan melihat tawa senangnya nanti sebelum ajal menjemputku untuk menghadapMu.

Salam rindu bundamu

Lagi-lagi air mata ini tak bisa ku bendung. Dadaku sesak dengan rasa penyesalan yang tak berarti. Kenapa aku tak pernah merasakan kesedihan bunda? Kenapa aku hanya bisa su’uzhon kepada bunda? Kenapa aku tak pernah peka terhadap perasaan bunda?

Aku terlalu egois dengan perasaanku sendiri. Masihkah pantas kalau aku bilang aku sanggat menyayangi bunda ? padahal sikapku tak mencerminkan itu semua. Oh Ilahi ampuni aku yang terlampau sering membuat sedih seorang yang sanggat menyayangiku itu.
** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **


Pagi ini aku ingin segera menemui wanita yang sangat aku sayangi.
           "Bunda…"Teriakku saat masuk ke kamar bunda.
            “Salam dulu dong” Jawab wanita yang terbaring di tempat tidur.
            “Hehehe… Maaf bunda. Ais terlalu bersemangat. Assalamu’alaikum bundaku sayang’ Sapaku dan langsung memeluk bunda.

           "Wa’alaikumsalam anak bunda tersayang."
Jawaban bunda membuat semangatku semakin membuncah. Ini pertama kalinya bunda memanggilku ‘anak tersayang’ pasca ku menikah. Aku sungguh merindukan sapaan itu. Dan tiba-tiba air mata ini kembali mengalir ketika aku masih di pelukan bunda. Bunda yang menyadarinya langsung melepas pelukannya dan bertanya.

            "Kenapa anak bunda menangis ?"
            "Ais malu bunda. Malu pada diri Ais yang ternyata selama ini hanya memikirkan perasaan Ais sendiri. Ais tak pernah peka dengan perasaan bunda. Ais egois. Maafkan Ais bunda."Tangisku semakin menjadi.

           "Eh.. eh..  anak bunda kok cengeng ? Dengerin bunda. Bunda yang seharusnya minta maaf dengan sikap bunda selama ini. Tidak seharusnya bunda bersikap seperti kemaren-kemaren sama Ais. Sikap bunda itu semakin membuat bunda sakit nak. Bunda tak ingin lagi seperti itu. Bunda sanggat merindukan Ais. Bunda ingin selalu di dekat Ais. Ingin selalu melihat senyum Ais. Ingin selalu mendengar curhatan-curhatannya Ais. Pokoknya bunda ndak mau jauh-jauh lagi sama Ais. Setelah sembuh bunda ikut Ais ya nak. Selagi bunda masih diberi nikmat sehat, bunda ingin selalu bersama Ais". Jawab bunda menenangkanku.
Sontak jawaban bunda membuatku sangat bahagia sekali. Akupun memeluk bunda dengan tangis bahagiaku.
            “Aisyah sayang  bunda”

0 comments:

Post a Comment