About me

Feeds RSS
Feeds RSS

Monday, February 23, 2015

CerPen : Teman Tak Berwujud ~ febmilar1802.blogspot.com



Mentari pagi menyelinap menembus celah-celah jendela kaca rumahku. Embun-embun masih menempel di dedaunan. Mungkin bagi sebagian anak sedang sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Tapi tidak denganku. Kubuka kedua mataku, semua sama saja. Gelap dan sunyi. Ya, inilah duniaku. Dunia yang begitu hambar, tak ada warna menghiasi dan cahaya menerangi. Yang ada hanyalah kegelapan. Ingin sekali aku melihat keindahan dunia. Melihat burung-burung berterbangan di awan, dan menyaksikan tetesan embun berjatuhan di dahan. Sungguh beruntung bagi mereka yang di anugrahi penglihatan. Terkadang aku iri dan beranggapan bahwa Tuhan tidak adil.
Tanganku meraba-raba meraih sesuatu di samping tempat tidurku. Inilah teman sejatiku. Tongkat yang selalu setia menemaniku kemanapun aku pergi. Aku lebih sering menghabiskan waktuku membaca buku. Meraba huruf braile kata demi kata. Ketimbang bermain dengan teman sebayaku. Tak ada yang mau berteman denganku. Pernah aku mencoba bermain dengan mereka, tapi mereka malah mengusirku. Hingga suatu saat datanglah Willy. Dia adalah teman pertamaku, yang ikhlas mau berteman dengan gadis cacat sepertiku. Waktu itu aku sedang bermain di taman dekat rumahku. Saat itulah, pertama kalinya aku mengenal Willy. Kami berteman sangat dekat. Hampir setiap sore aku dan Willy menghabiskan waktu di taman itu. Tepatnya saat Willy pulang sekolah.
“Jess, apakah kau menyukai bunga?”, Tanya Willy padaku.
“ya, tentu. Aku sangat suka baunya”, jawabku.
“Jessy, coba kau cium ini”, ujarnya sambil memberikan suatu benda ke tanganku.
“waaahh, harum sekali bunga ini. Bunga apakah ini?”, tanyaku sambil mengendus bunga yang ku pegang.
“ini mawar putih Jess. Bukan baunya saja, tapi bentuknya juga sangat indah. Coba deh kamu raba”, titah Willy seraya membimbing tanganku menyentuh bunga itu.
“iya Will. Hah, andai saja aku bias melihat”, eluhku.
“Jess, seharusnya kamu bersyukur telah dianugrahi kehidupan di dunia ini. Ya, walaupun tak sempurna. Ketahuilah Jess, hidup itu anugrah yang terindah yang Tuhan berikan untuk kita”, Willy mengingatkan.
“makasih ya Will, buat semuanya. Kamu mau terima aku jadi temenmu”, kataku.
“iya, lagian aku seneng kok berteman sama kamu. Kamu suka bunganya nggak”, Tanya Willy. Aku mengangguk.
“ya udah, mulai besok aku bakalan ngirimin kamu mawar putih setiap hari”, ujar Willy.
“wah, asyik dong. Aku bisa nikmatin bau mawar putih tanpa harus ke taman ini. Will, tau nggak. Setiap aku bicara sama kamu, aku ngerasa kayak lagi ngomong sama hawa (roh)”, ungkapku.
“kok bisa”, Tanya Willy heran.
“iya. Aku kan Cuma dengar suara kamu. Aku nggak bisa lihat kamu. Kamu itu seperti teman tak berwujud Will. Cuma ada suaranya tapi nggak ada orangnya”, kataku cekikikan.
“oh, jadi kamu mau bilang aku itu kayak hantu gitu”, cemberut Willy, membuatku cekakaan.
“enggak. Bukan gitu”, sanggahku.
“kamu pengen tau aku. Sini tangan kamu”, kata Willy memegang tanganku dan menaruh di wajahnya.
“sekarang kamu bayangin aja wajah aku”, titahnya. Aku meraba wajahnya. Sepertinya dia cowok yang tampan.
“nah, sekarang aku yakin kalau kamu bukan hantu” kataku.
Hari sudah sore Willy mengantarku pulang.
“selamat sore Jessy. Sampai bertemu besok”, salamnya. Ya, begitulah hari-hariku setelah kedatangan Willy. Jauh lebih menyenangkan.
Suatu ketika, mama memberitahuku. Mataku akan segera di operasi. Bukan main senangnya aku. Sebentar lagi aku bisa melihat. Mewujudkan semua impianku. Sore itu aku bertemu dengan Willy.
“Will, kamu tau nggak. Aku sebentar lagi akan dioperasi. Itu artinya aku akan segera bisa melihat kamu”, kataku senang.
“oh ya. Selamat ya Jess. Akhirnya semua impian kamu akan terkabul”, serunya senang.
“iya Will. Aku bahagia sekali”, ujarku. Tiba-tiba Willy terdiam. Sesaat tak ada suara.
“Will. Kamu kenapa. Ada masalah apa. Kamu nggak senang ya aku dioperasi”, kebahagiaanku mulai surut.
“nggak. Bukan itu Jess. Sebentar lagi aku akan pindah. Mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi”, kata Willy.
“pindah?, kamu mau pindah kemana Will. Kasih tau aku. Agar aku bisa mencari kamu nanti”, ujarku.
“nggak mungkin Jessy. Aku pindah ke suatu tempat yang sangat kecil. Rumah baruku nanti jauh lebih kecil daripada yang sekarang. Disana sangat sunyi bahkan sangat gelap”, terang Willy. Nada bicaranya terlihat sedih.
“kok bisa”, tanyaku heran.
“iya. Tempat itu sangat jauh. Kamu tidak akan pernah bisa ke rumah baruku. Aku Cuma sendirian. Mama sama papa nggak ikut”, aku semakin tak mengerti dengan ucapan Willy.
“nggak mungkin, pasti bisa Will. Lagian nantikan aku sudah bisa melihat. Aku pasti bisa mencari rumah kamu Will”, sangkalku. Sesaat tak ada suara.
“terserah kamulah. Ini pertemuan terakhir kita. Tapi aku janji, akan selalu mengirimi mawar putih setiap pagi untukmu”, Willy menyerah. Nada bicaranya putus asa.
“ya sudah, sudah sore. Aku pulang dulu ya. Aku harus mempersiapkan barang-barangku untuk pindah nanti”, kata-kata Willy terdengar sangat berat di telingaku. Itu berarti aku akan kehilangan sahabat baikku.
“Willy”, rengekku. Mencegahnya yang mulai berdiri dan hendak pergi meninggalkanku untuk duduk kembali.
“iya ada apa”, ucapnya lembut. Aku meraba-raba mencarinya.
“aku disini Jess”, ujarnya. Sambil memegang tanganku.
“kamu jangan pernah lupakan aku yah”, aku tak kuasa menahan air mataku. Willy merangkulku. Ia meraih kepalaku dan menyandarkan ke pundaknya. Willy membelai rambutku.
“nggak akan pernah Jessy”, ucapnya. Willy mencium rambutku, setetes air membasahi kulit kepalaku. Aku yakin Willy sedang menangis.
“selamat tinggal Jessy”, ia melepas rangkulannya dan pergi. Aku memanggil-manggilnya. Ia tak perduli lagi. Ku dengar langkah kakinya semakin jauh. Aku menangis. Aku sedih sekali, sahabat satu-satunya dan yang sangat aku sayangi pergi meninggalkanku.
Aku terbaring di sebuah ranjang. Seseorang memegang tanganku. Tangan itu juga mengelus-elus rambutku. Beberapa kali ia menciummi tangan dan rambutku. Dia mamaku.
“sayang, sebentar lagi kamu bisa melihat”, ujar mamaku. Ia memelukku.
“bagaimana Jess. Apa kamu sudah siap melihat dunia barumu?”, Tanya dokter John. Dokter yang telah mengoperasi mataku.
“iya dok. Sangat siap”, seruku bersemangat. Aku tak sabar lagi menunggu dokter John membuka perban mataku.
“krekk… krekk… krekk”. Terdengar suara gunting memotong perban mataku. Hatiku semakin tak menentu. Dokter John membuka perban. Kepalaku terasa sangat ringan saat lapisan-lapisan perban itu lepas dari kepalaku. Dokter John, menyuruhku membuka mata.
Ku buka mataku pelan-pelan. Cahaya masuk ke mataku. Perlahan-lahan pandanganku yang buram mulai jelas. Aku berada di ruangan serba putih. Terlihat seseorang yang begitu cantik, dengan parasnya yang keibuan.
“mama”, panggilku.
“sayang, kamu bisa lihat mama”, beliau langsung memelukku dan menangis, aku pun juga. Dokter John, hanya menatap haru. Aku sangat bahagia. Karena pada saat ini, aku bisa melihat wajah orang yang melahirkanku.
Satu minggu berlalu, Pagi-pagi ku buka pintu rumahku. setangkai mawar putih dan sebuah kertas biru langit di bawahnya, tergeletak begitu saja. Aku mengambil dan membacanya.
“MAWAR YANG INDAH, UNTUK SESEORANG YANG ISTIMEWA”, tertulis di bawah kertas itu. WILLY. Aku terlonjak kegirangan. Dia masih mengingatku. Aku ingin segera menemuinya.
Di suatu hari yang cerah, aku mendatangi sebuah rumah. Itu rumah Willy. Ia memberiku alamat rumahnya sehari sebelum pindah. Ku ketuk pintu rumahnya. Seseorang membuka pintu. Wajahnya cantik dan keibuan. Ia mempersilahkan masuk.
“Jessy ya”, tebaknya. Aku mengangguk. Tanpa harus memperkenalkan diri, beliau sudah tau aku.
“Willynya kemana tante”, Tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan sahabatku itu. Tiba-tiba wajah ibu itu mendung seketika.
“Willy bilang dia pindah. Apa aku boleh meminta alamat rumahnya”, kataku bersemangat.
“sebentar ya Jess”, ibu itu masuk ke dalam lalu keluar membawa sebuah tempat foto yang di dalamnya terdapat foto seseorang. Ibu itu menyerahkannya padaku.
“itu Willy Jes”, aku tak percaya. Ku perhatikan foto itu. Willy begitu tinggi, kulitnya bersih putih, ia juga berlesung pipit. Dan rambutnya yang cepak membuatnya terlihat sangat tampan. Bibirnya tipis kecil, senyumnya begitu menawan. Willy mengenakan seragam putih abu-abunya. Tiba-tiba ibu itu menangis sesenggukan. Ia kemudian menceritakan semuanya.
Oh… TidaakKK!! Tubuhku melemas. Ternyata mata yang saat ini aku pakai, adalah mata Willy. Ia mendonorkan kornea matanya untukku. Dia meninggal tepat pada saat aku operasi. Tumor ganas yang sudah bersarang di otaknya tak mampu lagi di lawan. Willy mengidap penyakit tersebut sudah 4 tahun.
Ku peluk foto itu erat-erat. Aku menangis. Tubuhku beringsut di sofa. Ibu itu menghampiriku dan memelukku.
“kamu masih kuat kan?”, Tanya ibu itu. Aku mengangguk. Beliau mengajakku berdiri. Dengan susah payah kulangkahkan kaki, semuanya terasa berat. Kami pergi ke tempat pemakaman dimana Willy disemayamkan. Aku menghambur kegundukan tanah itu. Tertulis di batu nisan, “Willy Sanjaya bin Suryo. Lahir 7 Juni 1993. Wafat tanggal 26 Juli 2010”, aku menangis disana. Tubuhku serasa lemas. Ibu itu pergi meninggalkanku. Aku berteriak-teriak memanggil nama Willy. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
“sudah, ikhlassin aja”, ucap orang itu. Aku menoleh.
“kamu”, aku tersentak kaget. Cowok itu persis Willy. Sangat mirip. Ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Tidakk munggkiinn…!!! Aku pasti sedang berhalusinasi. Itu pasti bukan Willy. Kalau dia Willy, terus yang di dalam sana siapa?.
“kamu Willy”, aku meyakinkan. Cowok itu tersenyum simpul.
“bukan. Aku Billy”, aku masih tak mengerti.
“aku saudara kembarnya”, terangnya lagi. Aku benar-benar tak percaya. Bagaimana mingkin. Willy tak pernah menceritakan hal ini kepadaku. Aku menatap batu nisan itu.
“semenjak dia pergi, aku yang menggantikannya mengirimimu mawar putih dan surat-surat itu”, terangnya. Aku semakin bingung. Kepalaku pusing. Tubuhku lemas dan bruuukkk…!!!. Sebuah tangan kokoh menyanggah tubuhku. Billy memanggil-manggilku. Ia menepuk-nepuk pipiku. Namun semuanya semakin gelap dan gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu.


CerPen : Kasih Sayang Seorang Ibu ~ febmilar1802.blogspot.com

Cerpen Kasih Sayang Seorang Ibu 

Bunda. Begitulah panggilan sayangku kepada wanita yang telah mengandungku. Wanita yang mempertaruhkan hidupnya demi aku. Wanita yang rela tidak tidur demi menjagaku. Wanita yang akan terbangun karena tangisku. Wanita yang setiap saat selalu mengkhawatirkanku. Wanita yang memperjuangkan hidup matinya hanya untukku. Wanita yang membesarkanku. Wanita yang setia mendengar keluh kesahku. Wanita yang bahunya selalu tersandar kesedihanku. Wanita yang seorang diri mendidikku. Seorang diri, ya seorang diri. Ayahku telah berpulang ke Rahmatullah ketika aku masih kecil. Dan hingga saat ini bunda tak pernah berfikir untuk mencari pengganti ayah.

            “Saat ini hidup bunda hanya untuk putri bunda yang cantik ini”
Kalimat tersebut yang selalu diucapkan bunda ketika ku Tanya mengenai ayah. Kalimat itu yang membuatku bertahan dengan keadaan ini, keadaan yang hanya mempunyai satu orang tua. Dan kalimat itu pula yang membuatku bangga mempunyai orang tua seperti bunda. Bunda pahlawanku. Beliau rela membanting tulang untuk menjadikanku seorang yang berpendidikan. Apapun akan bunda kerjakan asalkan halal. Bunda, Ais sangat menyayangi bunda.
---- * ----
“Assalamu’alaikum” Suara itu terdengar di balik pintu.
“Wa’alaikum Salam” Jawab bunda dari dapur.
"Bunda ke depan dulu ya Ais" Pamit bunda kepadaku yang saat itu juga berada di dapur membantu bunda memasak.

            "Iya bunda" Jawabku dengan senyum manja.
Bunda berjalan keluar meninggalkan dapur.
            “Bu Risa nak Fikri. Masuk, masuk” Ucap bunda setelah membuka pintu dan melihat seseorang di baliknya.

Ternyata yang datang adalah sahabat bunda dengan putranya.
            “Apa kabar bu Risa?” Tanya bunda sesaat setelah mempersilahkan duduk kedua tamu tersebut.
            “Alhamdulillah baik bu. Bu Rahmah sendiri bagaimana kabarnya?"
            “Alhamdulillah juga bu. Lama nih ibu ndak ke rumah saya. Sudah lupa ya sama saya?”
            “MassyaAllah.. ndak mungkin bu, hanya saja rumah saya kan agak jauh dari sini, yang mengantar itu ndak ada. Ini saja kebetulan Fikri ada perlu di daerah sini. Saya minta ikut, sekalian silaturahmi dengan ibu.”
Aku yang berada di dapur segera membuatkan minuman untuk tamu bunda. Setelah selesai membuatnya, segera ku antar kedepan. Saat aku menyuguhkan minuman di atas meja, segera kucium tangan sahabat bunda ini.

            “Ini Aisyah putri kecil ibu yang dulu?” Tanya sahabat bunda.
Aku hanya tersenyum mendengarnya, dan kembali ke dapur.
            “Iya bu, itu Aisyah yang sering ibu gendong dulu” Jawab bunda.
            “Sekarang sudah besar. Cantik dan terlihat sholihah lagi.”
Setelah lama berbicara banyak hal, sahabat bunda berpamitan pulang.
            "Saya pulang dulu ya bu Rahmah."
            "Iya bu, hati-hati." Jawab bunda dengan ramah.
            “Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumsalam”
Bunda kembali ke dapur setelah menutup pintu.

            “Aisyah” Panggil bunda lirih.
            “Dalem bunda”
            “Bu Risa senang melihatmu nak, dan menginginkan Aisyah menjadi menantunya.”
Akupun terkejut mendengarnya.

            “Bu Risa mempunyai putra. Namanya Fikri. Dia Sarjana teknik, dan agamanya bagus . Saat ini Fikri mengajar di salah satu SMA Negeri.” Sambung bunda kepadaku.

            “Bunda, Aisyah kan belum mengenalnya. Mungkin Fikri juga belum mengenal Aisyah.”
            “Fikri sudah mengenal Aisyah katanya. Ia tadi yang duduk di sebelahnya Bu Risa. Fikirkan dulu ya nak, minta petunjuk sama Allah.”
            “InsyaAllah bund.” Jawabku dan langsung meninggalkan dapur menuju kamar.

Keesokan harinya aku menemui bunda.

            “Bund, Ais mau menerima lamaran itu. Tapi izinkan Ais untuk berta’aruf dulu dengan Fikri.”
            “Alhamdulillah. Iya pasti nak.” Jawab bunda senang.
Setelah itu aku dan fikri menjalankan ta’aruf. Pendekatan yang tetap dalam batas-batas islam. Dari ta’aruf itu aku dan fikri saling mengenal sifat satu sama lain. Dan perlahan rasa cinta itu mulai tumbuh untuk Fikri yang sangat penyabar. Selang 3 bulan kami berta’aruf, Fikri melamarku dan setelah itu kami menikah.

            "Saya terima nikah dan kawinnya Aisyatur Rahmah bin Syamsudin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an di bayar tunai"
            "Syah.. Syah.."
           "Alhamdulillah…"

Jawab semua tamu yang hadir. Wajah bahagia bercampur haru terlihat dari semua undangan. Akupun memeluk bunda yang saat itu berada di sampingku.


** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **

            "Bund, Ais ingin bicara sama bunda"
            "Bicara apa Ais ?"
            "Bund, Kang Fikri di pindah tugaskan mengajar ke Sumatra. Dan itu dalam kurun waktu yang cukup lama. Ais ingin menemani kang Fikri. Tapi Ais ndak mungkin meninggalkan bunda sendiri di sini. Bunda ikut dengan kami ya."

Bunda hanya tersenyum. Aku tak mengerti maksud dari senyuman bunda.
            "Aisyah, itu sudah kewajiban Ais sebagai istri untuk menemani kemanapun suamimu pergi nak. Bunda ndak ingin meninggalkan rumah ini. Terlalu banyak kenangan yang tidak bisa bunda tinggalkan di rumah ini"Jawab bunda lembut.

            "Bagaimana mungkin Ais bisa meninggalkan bunda di sini sendirian ?"
            "Kan ada Allah yang selalu menemani bunda. Ais kan nanti juga bisa telpon bunda dari sana nak"
            "Tapi bund…."

            "Bunda tidak kenapa-napa Ais. Bunda tidak akan pernah meninggalkan rumah  ini. Dan kamu harus mengikuti suamimu” Ucap bunda marah.
Seketika aku terdiam setelah mendengar bunda berkata seperti itu. Bunda pergi meninggalkanku menuju kamarnya.
            “ Astagfirullah.. aku telah membuat bunda marah. Maafkan Aisyah bunda” Lirihku.

** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **

Hari ini aku dan suamiku harus meninggalkan kota kecilku ini dan meninggalkan bunda.
            “Bunda kami pamit dulu. Do’akan kami ya bund” pamit suamiku pada bunda.
Bunda tersenyum dan memeluk kang Fikri.

            “Jaga diri baik-baik ya fikri, Bunda titip Aisyah ya” Ucap bunda dalam pelukannya.
Aku memeluk bunda dengan tangisku.

            “Bunda baik-baik ya disini. Kalau terjadi sesuatu segera kabari Ais ya bund”
            “Beres boss..” Canda bunda, yang berhasil membuatku sedikit tersenyum.
Akupun harus segera pergi.
** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **


 Setelah menempuh perjalan yang  melelahkan, akhirnya kami tiba di Sumatra. Dan aku langsung mengabari bunda. Dengan nada senang bunda mengucap Alhamdulillah.
Hari-hari pertamaku di Sumatra sangat berbeda. Aku selalu teringat bunda, bunda, dan bunda. Hampir setiap hari dalam bulan pertamaku di sini, aku selalalu menelpon bunda. Hingga suatu hari bunda marah karena tinggahku itu.

            "Sampai kapan kamu terus bergantung sama bunda. Kamu harus bisa mandiri tanpa bunda. Jangan nelpon bunda jika tidak ada keperluan ya Ais. Kamu harus fokus sama keluargamu, karena itu kewajibanmu." Ucap bunda di seberang telpon dengan nada sedikit keras dan kemudian telpon itu di tutup.

            "Oh Rabb.. lagi-lagi aku membuat bunda marah. Tapi kenapa bunda harus marah dengan sikapku yang terbilang wajar untuk anak sematawayang kepada ibunya ?. mana yang salah dari sikapku. Atau aku memang terlalu berlebihan. Tapi bukankah dulu bunda sangat senang jika aku manja kepadanya. Kenapa sekarang tidak. Apa bunda tidak sayang lagi sama aku ?. YaAllah beri petunjukMu..”

Akupun menuruti semua keinginan bunda untuk tidak ku telpon. Tak bisa ku pungkiri aku sungguh merindukan bunda. Bunda sedang apa di sana, sehatkah bundaku. Makankah hari ini. Oh bunda, andaikan bunda tau Ais di sini sanggat merindukan bunda.

Kring..Kring..Kring..

Telpon rumahku berbunyi. Segera ku berlari untuk mengangkatnya dan berharap itu dari bunda.

            “Assalamu’alaikum” Sapaku.
            “Wa’alaikumsalam” Jawab orang di seberang telpon.
            “Aisyah, ini ibu nak. Kamu sekeluarga sehat?”

Ternyata ibu mertuaku yang menelpon. Ibu memananyakan keadaanku sekeluarga dan memberitahu bahwa bundaku sakit dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit.
Setelah mendengar itu semua aku dan suamiku segera terbang menuju tempat bunda. Sesampainya di kampung halamanku, aku segera menuju rumah sakit tempat bunda di rawat. Ketika di rumah sakit aku bertemu dengan ibu mertuaku yang sudah beberapa hari ini menjaga bunda. Segera ku cium tangan mertuaku ini dan memeluknya.

"Bunda hanya kecapekan kata dokter. Darah rendahnya kambuh. Jadi bunda butuh istirahat beberapa hari di sini nak” Ucap ibu mertuaku menenangkanku.
Betapa aku sanggat sedih ketika melihat bunda terbaring lemas di rumah sakit. Ingin rasanya aku segera memeluknya dan menjaganya. Namun bunda di haruskan beristirahat dahulu. Akupun hanya melihatnya dari luar ruangan bunda.

            “Sudah sore Ais, ayo kita pulang dulu. Besok pagi kita ke sini lagi” Ajak suamiku.
Akupun  mengikuti suamiku untuk pulang kerumah bunda. Pertamakalinya aku menempati rumah ini lagi. Akupun menuju kamar bunda. Seperti biasanya kamar bunda selalu tertata rapi. Kupandangi setiap bingkai foto yang menancap di dinding-dinding kamar bunda yang wana catnya sudah mulai memudar. Terlihat foto pernikahan bunda bersama ayah. Terlihat pula foto ayah menggendong aku saat masih kecil. Tak terasa buliran-buliran air mata membasai pipiku.

Akupun merebahkan tubuhku di tempat tidur bunda. Mengingat masa-masa dimana aku tak bisa tidur jika tidak bersama bunda. Bunda Ais sungguh merindukan semua itu.
Pandanganku tertuju pada buku bersampul merah muda yang ada di meja bunda.

            “Buku apa itu?” Lirihku..
Akupun mengambil buku yang sedari tadi membuat aku penasaran ingin membukanya.
Ternyata itu diary bunda. Aku sedikit tersenyum ketika tau kalau bunda juga menulis diary seperti aku. Sebenarnya aku tak mau membukanya. Tapi aku ingin sekali membaca tulisan bunda. Dan akhirnya ku baca buku diary bunda itu.

            “Bunda maafkan Ais ya” Gumamku dalam hati.

Dear Allah
Allah.. tolong sampaikan kepada suamiku tercinta ya..

Abi, Hari ini putri kecil kita sudah bisa berjalan. Abi tau ndak, tingkahnya lucu sekali. Umi lagsung memakaikannya sepatu. Andai abi di sini, pasti abi sanggat senang melihatnya. Abi, putri kecil kita ini sanggat pintar sekali. Dia lebih dulu bisa berjalan dari teman-temannya. Mungkin akan lebih pintar lagi jika di sampingnya ada seorang ayah yeng mendampinginya
Abi rindu ndak sama putri kecil kita ?
Abi rindu ndak sama Umi ?
Disini umi dan putri kecil kita sanggat merindukan abi. Umi janji, umi akan mendidik putri kecil kita ini menjadi putri yang sholehah seperti yang abi impikan. Terkadang umi sanggat lelah menjalani semua ini sendirian abi. Namun semua lelah umi hilang ketika umi melihat putri kecil kita. Semoga semua ini menjadi kebahagiaan pula untuk abi di sana.
Salam sayang dan rindu dari Umi untuk Abi

Dear Abi
Abi, Umi harap abi senang di sana. Umi tau dengan umi menulis di kertas putih ini tak akan merubah semuanya. Namun hanya ini yang bisa umi lakukan selain berdo’a untuk abi. Hanya ini yang mampu mengurangi rasa rindu umi kepada abi.

Abi, putri kecil kita hari ini terjatuh dari sepeda. Lututnya berdarah, putri kecil kita terlihat kesakitan abi. Mungkin ini adalah kelalaian umi dalam menjaganya. Maafkan umi ya abi. Andai saja di sini ada abi, mungkin umi tak akan sekhawatir ini.

Oh Rabb.. ternyata bunda selalu menuliskan setiap  kejadian yang aku alami di kertas ini. Mungkin itu sebabnya bunda tak pernah menunjukkan raut wajah sedih dihadapanku. Aku melanjutkan membaca isi diary bunda.

Abi, putri kecil kita telah tumbuh dewasa.
Hari ini ia sedang di wisuda abi, umi tak menyangka umi bisa mendidiknya sejauh ini. Putri kecil kita ini sanggat sayang sama umi. Agamanyapun tak kalah hebat dengan umi. Bacaan Al-Qurannya lancar dan merdu.Putri kecil kita ini sudah hafal beberapa juz tanpa umi suruh sedikitpun untuk menghafal. Umi bangga mempunyai putri kecil kita ini. Mungkin jika abi disini, abi pasti juga bangga sama seperti umi.

Abi,
Hari ini adalah hari yang paling umi takutkan. Hari dimana putri kecil kita ini akan menjadi milik orang lain. Abi, umi tak rela, umi tak rela putri kecil kita ini menjadi milik orang. Rasanya baru kemarin putri kecil kita ini bisa berjalan, namun kenapa sekarang sudah sebesar ini. Abi, umi akan sendirian lagi, karena mungkin setelah putri kecil kita ini menikah, dia tak lagi bersama umi dan akan mengikuti suaminya. Jika umi boleh meminta, bawalah umi segera bersama abi di surga. Umi mohon abi. Umi tak sanggup bila harus berpisah dengan putri kecil kita ini.

Tak terasa buliran-buliran air mata ini keluar dan mengalir membasahi pipiku. Aku sedikit tak percaya dengan tulisan ini. Aku tak pernah melihat guratan rasa sedih di wajah indah bunda.  Hanya senyum-senyum manis bunda yang setiap hari ku lihat. Apa aku yang terlalu tak peka pada perasaan bunda? Apa aku yang tak pernah peduli dengan perasaan bunda? Apa aku yang selalu sibuk dengan perasaanku sendiri?
Bunda.. maafkan anak bunda ini yang mungkin tak pernah peduli dengan bunda. Robb.. Maafkan hambaMu ini..

Sebenarnya aku tak kuasa untuk membaca lagi isi dari diary bunda. Tapi entah mengapa ada rasa ingin melanjutkan untuk membacanya. Ku usap air mataku dan kulanjutkan membacaku.

Abi…
Hal yang umi khawatirkan kini menjadi kenyataan. Putri kecil kita ini sebentar lagi akan mengikuti suaminya bertugas di luar pulau. Sebenarnya umi tak inggin itu terjadi. Namun itu semua sudah menjadi kewajiban untuk putri kita, dan sudah menjadi  kewajiban umi untuk melepasnya. Abi, hati umi sedih ketika umi harus melepas putri kecil kita ini. Sepertinya umi tak sanggup jauh dari putri kita. Umi tahu kalau umi tak boleh seperti ini, tapi umi benar-benar tak mengerti harus berbuat apa.

Robbi.. Bantu hambaMu ini untuk mengikhlaskan putri kecilku. Sadarkan aku jika semua ini adalah titipanMu yang kapanpun Engkau mau mengambilnya, Engkau akan ambil dariku.

Dear putriku..
Bunda sendirian di rumah. Rumah ini semakin sepi saja tanpa adanya Ais  putri bunda. Sepi tanpa ada celotehan Ais, sepi tanpa ada gurauan Ais, sepi tanpa ada manjanya Ais, sepi tanpa ada curhatan Ais, sepi tanpa ada tawa senangnya Ais. Bunda rindu dengan celotehan, gurauan, manja, curhatan, tawa senangnya Ais.  Mungkinkah ketika Ais kembali, masih ada bunda di sini ? Mungkinkah bunda masih bisa mendengar celotehannya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa mendengar gurauannya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa merasakan sikap manjanya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa mendengar segala keluh kesahnya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa melihat tawa senangnya Ais ?

Ais, maafkan bunda nak. Bunda telah marah-marah terhadapmu. Sebenarnya bunda tak kuasa melakukan semua itu. Namun bunda harus melakukannya agar Ais bisa mandiri tanpa bunda. Karena suatu saat akan tiba dimana Ais akan kehilangan bunda untuk selamanya. Jika Ais bertanya apakah bunda merindukan Ais ? Jawabannya adalah sanggat nak. Dan jika Ais bertanya lebih rindu mana bunda terhadap Ais atau Allah ? Bunda dengan yakin akan menjawab Allah. Namun itu semua bukan berarti bunda tak menyayangimu nak. Bunda sanggat menyayangi Ais. Bunda bersyukur Ais telah memiliki pemimpin yang sungguh luar biasa dalam memimpinmu nak. Setidaknya bunda tak perlu khawatir jika bunda telah dipanggil oleh Allah nanti.
Ilahi.. aku ingin mendengar celotehannya, mendengar gurauannya, merasakan manjanya, mendengar curhatannya dan melihat tawa senangnya nanti sebelum ajal menjemputku untuk menghadapMu.

Salam rindu bundamu

Lagi-lagi air mata ini tak bisa ku bendung. Dadaku sesak dengan rasa penyesalan yang tak berarti. Kenapa aku tak pernah merasakan kesedihan bunda? Kenapa aku hanya bisa su’uzhon kepada bunda? Kenapa aku tak pernah peka terhadap perasaan bunda?

Aku terlalu egois dengan perasaanku sendiri. Masihkah pantas kalau aku bilang aku sanggat menyayangi bunda ? padahal sikapku tak mencerminkan itu semua. Oh Ilahi ampuni aku yang terlampau sering membuat sedih seorang yang sanggat menyayangiku itu.
** Cerpen Kasih Sayang Ibu : Bunda **


Pagi ini aku ingin segera menemui wanita yang sangat aku sayangi.
           "Bunda…"Teriakku saat masuk ke kamar bunda.
            “Salam dulu dong” Jawab wanita yang terbaring di tempat tidur.
            “Hehehe… Maaf bunda. Ais terlalu bersemangat. Assalamu’alaikum bundaku sayang’ Sapaku dan langsung memeluk bunda.

           "Wa’alaikumsalam anak bunda tersayang."
Jawaban bunda membuat semangatku semakin membuncah. Ini pertama kalinya bunda memanggilku ‘anak tersayang’ pasca ku menikah. Aku sungguh merindukan sapaan itu. Dan tiba-tiba air mata ini kembali mengalir ketika aku masih di pelukan bunda. Bunda yang menyadarinya langsung melepas pelukannya dan bertanya.

            "Kenapa anak bunda menangis ?"
            "Ais malu bunda. Malu pada diri Ais yang ternyata selama ini hanya memikirkan perasaan Ais sendiri. Ais tak pernah peka dengan perasaan bunda. Ais egois. Maafkan Ais bunda."Tangisku semakin menjadi.

           "Eh.. eh..  anak bunda kok cengeng ? Dengerin bunda. Bunda yang seharusnya minta maaf dengan sikap bunda selama ini. Tidak seharusnya bunda bersikap seperti kemaren-kemaren sama Ais. Sikap bunda itu semakin membuat bunda sakit nak. Bunda tak ingin lagi seperti itu. Bunda sanggat merindukan Ais. Bunda ingin selalu di dekat Ais. Ingin selalu melihat senyum Ais. Ingin selalu mendengar curhatan-curhatannya Ais. Pokoknya bunda ndak mau jauh-jauh lagi sama Ais. Setelah sembuh bunda ikut Ais ya nak. Selagi bunda masih diberi nikmat sehat, bunda ingin selalu bersama Ais". Jawab bunda menenangkanku.
Sontak jawaban bunda membuatku sangat bahagia sekali. Akupun memeluk bunda dengan tangis bahagiaku.
            “Aisyah sayang  bunda”

CerPen : Goresan Pena Ayah ~ febmilar1802.blogspot.com


Dunia ini terasa berhenti, ketika Zahra harus siap menerima kenyataan pahit, memiliki seorang Ayah dengan keadaan cacat. Keinginannya mempunyai seorang Ayah yang lebih sempurna, seseorang yang tak cacat seperti Ayahnya semua orang. Seorang Ayah yang dapat mendengar harapannya dan kekhawatirannya. Di rumah petaknya, Zahra tinggal bersama Ayah dan adiknya, sesudah kematian ibunya beberapa tahun yang lalu.
Zahra adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Gadis berjilbab, cantik, alim dan lumayan cerdas. Umurnya baru menginjak 17 tahun, duduk di sebuah sekolah islam kota Solo. Jabatan yang diembannya memaksanya untuk terus berpikir, bagaimana cara untuk mengubah keadaan ekonomi keluarga yang semakin parah, ditambah lagi Salma adiknya sudah menginjak kelas 4 Sekolah Dasar semakin banyak yang Salma butuhkan untuk melengkapi peralatan sekolahnya. Zahra dan Salma bisa melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan yang sekarang adalah karena kecerdasannya. Namun demikian tak membuat keduanya berpangku tangan. Terkadang terbesit untuk melanjutkan studynya di suatu universitas impiannya. Ya Impian. Yang selalu hanya impian. 6 huruf yang mempersulit hidupnya.
Pagi ini seperti hari-hari biasanya, Zahra harus bangun pagi mempersiapkan sarapan untuk makan Ayah dan adiknya. Selain itu dia juga harus memandikan Ayahnya dan membereskan semua ruangan sebelum dia pergi menuntut ilmu. Ayahnya yang cacat dengan tangan yang hanya bisa digerakan membuatnya sulit mengetahui kemauanya. Perkataan yang keluar dari mulut Ayahnya pun tidak begitu jelas, sehingga dia meletakan selembar kertas dan sebatang pena yang digunankan Ayah untuk berkomunikasi.
“Sarapan sama apa kak pagi ini?” tanya Salma kepada kakaknya.
“Seadanya Sal, hanya ada nasi dan lauk tempe” jawab Zahra dengan sedih memandang adiknya.
“Ayah mau sarapan sekarang?” tanya Zahra.
Ayahnya pun hanya mengangguk dan menyodorkan secarik kertas kepada Zahra.
Besok uang dari sekolahan jangan buat berobat Ayah tapi belikan Salma ayam goreng kesukaanya..
Zahra dan Salma bebarengan membaca catatan dari Ayahnya.
“Tidak usah Ayah.. lauk tempe saja udah cukup kok” ucap Salma memeluk Ayahnya yang hanya bisa berbaring di tempat tidurnya.
Sebelum berangkat sekolah Zahra menyiapkan semua perlengkapan untuk Ayahnya. Dan mereka pun berpamitan. Seperti biasa Ayah Zahra menyerahkan kertas kusamnya.
Hati-hati di jalan nak.. belajar yang tekun biar kelak jadi anak yang selalu berguna untuk Ayah dan orang lain. Ayah selalu mendoakan kalian dimanapun kalian berada.
Ayah di rumah akan baik- baik saja.
Zahra dan Salma memeluk Ayah tercintanya. Mereka sebenarnya tak begitu tega meninggalkan Ayahnya sendiri di rumah, namun Ayah tetap memaksa agar mereka harus terus sekolah.
Waktu sudah menunjukan pukul tujuh kurang seperempat sudah saatnya Zahra dan Salma berangkat ke sekolah. Perjalanan menuju sekolah sekitar 2 km. Tidak seperti teman-temannya yang diantar orangtuanya namun kedua gadis ini berangkat dengan mengayuh sepeda tua milik Ayah yang dulu dipakai sebelum jatuh sakit.
Sesampai di sekolah Zahra mengikuti pelajaran dengan seksama. Zahra yang selalu menduduki peringkat pertama di sekolahnya membuat guru-guru sangat bangga denganya. Dan karena prestasi yang didapat membuatnya memperoleh beasiswa sekolah, yang mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Teeet… teeettt… jam istirahat berbunyi, semua siswa keluar kelas untuk menuju ke kantin. Tidak sama dengan Zahra yang hanya duduk di kelas menunggu bel masuk berbunyi.
Tiba tiba Aulia menghampiri Zahra.
“Ra kamu dipanggail Bu Nasiah tuuh…” kata Aulia sambil makan batagor.
“oh iya.. dimana?” tanya Zahra
“Di kantor guru, tau kan mejanya Bu Nasiah?”
“Iya makasih, Aku segera kesana” jawab Zahra meninggalkan Aulia di kelas.
Zahra pun berjalan menyusuri koridor sekolah sambil memberikan senyuman manis kepada teman yang dia temui. Sesampainya di kantor dia mencari meja Bu Nasiah dan menghampirinya.
“Assalamualaikum Bu…” sapa Zahra kepada wali kelasnya.
“Waalaikumsalam Zahra, gimana Bapak sehat?” tanya Bu Nasiah dengan senyumannya.
“Alhamdulilah Bu sehat, Ibu memanggil saya?” ucap Zahra
“Ibu disuruh oleh kepala sekolah untuk memberikan ini untuk kamu.” Bu Nasiah menyodorkan amplop putihnya ke Zahra.
“Terimakasih banyak Bu..” balas Zahra sambil menerima amplopnya dan menyalaminya.
Bel tanda selesainya istirahat berbunyi. Zahra pun berpamitan untuk segera masuk ke ruang kelas. Pelajaran pun dimulai kembali.
Tak terasa waktu sekolah telah selesai. Semua siswa berlarian menuju pintu gerbang menunggu jemputan orangtua. Begitu juga dengan Salma yang sudah menunggu kakakanya di samping sepeda tuanya. mereka pun pulang bersama.
“Loh kak, kok arahnya kesini? Kita kan belok kanan?” tanya Salma penasaran.
“Coba tebak kita mau kemana?” tanya Zahra.
“Ke pasar ya kak?” Salma mencoba menebak.
“Seratus…” senyum Zahra memberikan nilai untuk adiknya.
Sampai di pasar sepedanya pun di sandarkan di dekat pintu masuk pasar. Mereka mencari ayam potong dan bumbu untuk membuat ayam goreng kesukaan Salma. Salma begitu semangat menyusuri deretan pedagang di pasar. Setelah semua di beli tak lupa mereka membeli obat untuk Ayahnya. Dan perjalanan pulang pun dilalui.
Di rumah mereka langsung menghampiri Ayahnya yang sudah menyiapkan sarung dan pecinya. Zahra segera ganti baju dan bergegas membawa air wudu untuk Ayahnya. Sedangkan Salma menyiapkan makanan untuk makan siang.
Selesai wudu Ayah menyodorkan selembar catatan untuk Zahra
Kamu ambil air wudu ajak Salma untuk solat dzuhur berjamaah selesai solat kita makan bersama
Zahra dan Salma segera mematuhi perintah Ayahnya. Mereka bergegas mengambil air wudu dan melaksanakan solat. Selesai solat Zahra menyiapkan makanan untuk Ayah.
Ketika makan Ayahnya terkejut melihat lauk ayam goreng yang sudah di masak Salma. Ayahnya pun menulis catatan untuk kedua gadisnya
Uang dari sekolah disimpan kamu aja Ra, di pakai buat keperluan kamu dan Salma.
Zahra menjawab catatan Ayah “Iya Ayah.. tadi Zahra juga udah beli obat buat Ayah sisa uang udah Zahra simpan di lemari untuk keperluan sehari-hari”.
Salma, Zahra dan Ayahnya melahap makan siangnya dengan lauk ayam goreng yang hanya bisa di beli ketika mendapat uang dari sekolahnya. Selesai makan mereka beristirahat tak lupa Zahra memberikan obat untuk Ayahnya.
Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, mereka dibangunkan oleh kumandang adzan asar. Zahra bergegas memandikan Ayah dan merapikan ruangan rumah. Salma pergi mengaji di surau dekat rumahnya.
“Salma pamit berangakat ngaji dulu Ayah..” pamit Salma kepada Ayahnya
Ayah Salma hanya mengangguk tanda setuju dan tersenyum.
Hari hari yang dilalui keluarga Zahra begitu bahagia walaupun keadaanya kurang mencukupi. Zahra hanya bisa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepada keluarganya. Melihat sang Ayah yang hanya bisa berbaring di tempat tidur membuatnya merasa iba. Telah berbagai usaha yang dilakukan untuk mengobatinya namun semua nihil.
Di tengah malam ketika Zahra dan Salma sedang tertidur lelap Ayahnya menulis catatan di kertasnya. Dan di sepertiga malam Zahra dan Ayahnya bangun untuk meminta dan memuji ke AgunganNya.
“Kak jam berapa sekarang?” tanya Salma dengan mata sembab.
“Jam tiga pagi, ayo bangun ambil wudu..” pinta Zahra
“Hari ini Salma libur dulu ya kak” ucap Salma memancal slimut kembali dalam tidurnya.
Ayah dan Zahra pun memandang tersenyum. Zahra kembali melakukan dialognya kepada Tuhan untuk semua permohonannya. Dalam hati Zahra berdoa..
Ya Allah, Engkaulah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Tolonglah kami agar kami mengerti, menerima, percaya,
Memaafkan dan dimaafkan.
Memberi dan menerima, mencintai dan dicintai
Serta berani menatap jauh kedepan untuk kehidupan yang lebih baik
Lebih indah dan membahagiakan
Hari ini Jumat 22 Juni 2012. Matahari mulai muncul mengeluarkan cahayanya. Meyinari kegelapan bumi dan menjadikanya terang. Tanda aktifitas manusia mulai dilalui. Tiba-tiba Ayah Zahra menyodorkan catatan setelah selesai di mandikan.
Zahra pakaikan Ayah baju putih pemberian Ibu, hari ini Ayah sangat rindu Ibu
“iya Ayah.. Zahra juga selalu rindu Ibu..” ucap Zahra meneteskan air mata.
“Salma.. tolong ambilkan Ayah baju koko putih yang ada di lemari” pinta Zahra.
“Iya kak…” jawab Salma dengan mencari baju koko putih di tumpukan baju di lemari.
Tak terasa jam dinding di rumahnya menunjukan pukul tujuh kurang seperempat. Waktunya Zahra dan Salma berpamitan meninggalkan Ayah untuk menimba ilmu. Sepeda tuanya sudah siap membawa ke sekolahan. Sebelum berangkat Ayahnya menyodorkan secarik kertas untuk kedua putrinya.
Hati-hati di jalan. Zahra jaga Salma ya..
Ayah rindu Ibu
Zahra dan Salma memeluk Ayah karena terharu.
“Kami juga rindu Ibu Yah…, kami berangkat sekolah dulu ya Yah, Ayah baik-baik di rumah..”.
Sesampai di sekolahan ketika sedang mengikuti pelajaran di kelas, tiba-tiba seluruh ruangan kelas bergetar dan semua gambar di dinding kelas bergoyang. Siswa yang ada di kelas pun keluar dengan panik. Zahra sangat takut dengan keadaan Ayahnya di rumah. Dia tak mempedulikan keadaan di sekolah. Dan dia langsung mencari sepeda untuk segera pulang. Bu Nasiah menahan Zahra untuk tetap tenang di sekolah namun Zahra bersikeras meninggalkan sekolah karena mengingat Ayahnya.
Zahra dengan kecepatan tinggi mengayuh sepeda dan sampailah di depan rumahnya. Dia langsung menuju kamar Ayah dan melihat Ayahnya yang sudah berbaring di lantai kamarnya.
“Ayaahhh…!!!” Jerit Zahra mendekap Ayahnya.
Tiba-tiba Salma berlarian menuju rumah. Setelah tau keadaanya dia pun menangis mencoba membangunkan Ayah.
“Ayah.. bangun… jangan tinggalin Salma…!” isak Salma.
“innalillahi wa inna iliaihi rooji’uun…”
Semua tetangga mendatangi rumah Zahra, dan mengurus jenazah almarhum Ayahnya.
Setelah semua proses pemakaman selesai, Zahra dan Salma mulai membereskan semua ruangan rumah yang rusak karena gempa. Ketika sedang membersihkan kamar Ayah, Salma menemukan secarik kertas catatan Ayahnya. Mereka membacanya bersama..
Zahra… Salma.. maafin Ayah sudah merepotkan kalian..
kalian adalah anak yang paling Ayah banggakan
Jaga sholat dan iman kalian
Hadapi hidup dengan senyuman
Ayah percaya kelak kalian akan menjemput kebahagiaan..
Ayah pergi menyusul Ibu..
Doakan terus Ayah dan Ibu yaa..
Genangan air mata seakan tumpah di pipi kedua ganis itu. Kematian Ayahnya yang begitu cepat membuat mereka sadar bahwa Ayahlah segalanya. Kini Zahra menjalani hidup hanya dengan Salma. Hari-hari berbalut kesedihan dan luka mendalam. Namun mereka yakin Tuhan akan menurunkan seorang malaikat yang akan menemani dan membuat tawa bahagia untuk hari esok dan seterusnya.


Saturday, November 1, 2014

Kisah Penderitaan Seorang wania muslim di Palestina~febmilar blog's

Kisah Penderitaan Seorang Siswi Palestina


Ini adalah kisah tentang seorang siswi di sebuah sekolah putri di Palestina. Hari itu dewan sekolah berkumpul seperti biasanya. Di antara keputusan dan rekomendasi yang dikeluarkan dewan dalam pertemuan ini adalah pemeriksaan mendadak bagi siswi di dalam aula. Dan benar, dibentuklah tim khusus untuk melakukan pemeriksaan dan mulai bekerja. Sudah barang tentu, pemeriksaan dilakukan terhadap segala hal yang dilarang masuk di lingkungan sekolah seperti hand phone berkamera, foto-foto, gambar-gambar dan surat-surat cinta serta yang lainnya.
Keamanan saat itu nampak normal dan stabil, kondisinya sangat tenang. Para siswi menerima perintah ini dengan senang hati. Mulailah tim pemeriksa menjelajah semua ruangan dan aula dengan penuh percaya diri. Keluar dari satu ruangan masuk ke ruangan lainnya. Membuka tas-tas para siswi di depan mereka. Semua tas kosong kecuali berisi buku-buku, pena dan peralatan kebutuhan kuliah lainnya. Hingga akhirnya pemeriksaan selesai di seluruh ruangan kecuali satu ruangan. Di situlah bermula kejadian. Apakah sebenarnya yang terjadi ???
Tim pemeriksa masuk ke ruangan ini dengan penuh percaya seperti biasanya. Tim meminta izin kepada para siswi untuk memeriksa tas-tas mereka. Dimulailah pemeriksaan.
Saat itu di ujung ruangan ada seorang siswi yang tengah duduk. Dia memandang kepada tim pemeriksa dengan pandangan terpecah dan mata nanar, sedang tangannya memegang erat tasnya. Pandangannya semakin tajam setiap giliran pemeriksaan semakin dekat pada dirinya. Tahukah anda, apakah yang dia sembunyikan di dalam tasnya ???
Beberapa saat kemudian tim pemeriksa memeriksa siswi yang ada di depannya. Dia pun memegang sangat erat tasnya. Seakan dia mengatakan, demi Allah mereka tidak akan membuka tas saya. Dan tiba lah giliran pemeriksaan pada dirinya. Dimulailah pemeriksaan.
Tolong buka tasnya anakku, kata seorang guru anggota tim pemeriksa. Siswi itu tidak langsung membuka tasnya. Dia melihat wanita yang ada di depannya dalam diam sambil mendekap tas ke dadanya.
Barikan tasmu, wahai anakku, kata pemeriksa itu dengan lembut. Namun tiba-tiba dia berteriak keras: tidak!! tidak!! tidak!!
Teriakan itu memancing para pemeriksa lainnya dan merekapun berkumpul di sekitar siswi tersebut. Terjadilah debat sengit: berikan tidak!! berikan tidak!!
Adakah rahasia yang dia sembunyikan???
Dan apa yang sebenarnya terjadi???

Maka terjadilah adegan pertarungan tangan untuk memperebutkan tas yang masih tetap berada dalam blockade pemiliknya. Para siswi pun terhenyak dan semua mata terbelalak. Seorang dosen wanita berdiri dan tangannya diletakan di mulutnya. Ruangan tiba-tiba sunyi. Semua terdiam. Ya Ilahi, apakah sebenarnya yang ada di dalam tas tersebut. Apakah benar bahwa si Fulanah (siswi) tersebut .

Setelah dilakukan musyawarah akhirnya tim pemeriksa sepakat untuk membawa sang siswi dan tasnya ke kantor, guna melanjutkan pemeriksaan yang barang kali membutuhkan waktu lama
Siswi tadi masuk kantor sedang air matanya bercucuran bagai hujan. Matanya memandang ke arah semua yang hadir di ruangan itu dengan tatapan penuh benci dan marah. Karena mereka akan mengungkap rahasia dirinya di hadapan orang banyak. Ketua tim pemeriksa memerintahkannya duduk dan menenangkan situasi. Dia pun mulai tenang. Dan kepala sekolah pun bertanya, apa yang kau sembunyikan di dalam tas wahai anakku ?
Di sini, dalam saat-saat yang pahit dan sulit, dia membuka tasnya. Ya Ilahi, apakah gerangan yang ada di dalamnya??? Bukan. Bukan. Tidak ada sesuatu pun yang dilarang ada di dalam tasnya. Tidak ada benda-benda haram, hand phone berkamera, gambar dan foto-foto atau surat cinta. Demi Allah, tidak ada apa-apa di dalamnya kecuali sisa makanan (roti). Ya, itulah yang ada di dalam tasnya.
Setelah ditanya tentang sisa makanan yang ada di dalam tasnya, dia menjawab, setelah menarik nafas panjang.
Ini adalah sisa-sisa roti makan pagi para siswi, yang masih tersisa separoh atau seperempatnya di dalam bungkusnya. Kemudian saya kumpulkan dan saya makan sebagiannya. Sisanya saya bawa pulang untuk keluarga saya di rumah Ya, untuk ibu dan saudara-saudara saya di rumah. Agar mereka memiliki sesuatu yang bisa disantap untuk makan siang dan makan malam. Kami adalah keluarga miskin, tidak memiliki siapa-siapa. Kami bukan siapa-siapa dan memang tidak ada yang bertanya tentang kami. Alasan saya untuk tidak membuka tas, agar saya tidak malu di hadapan teman-teman di ruangan tadi.
Tiba-tiba suara tangis meledak ruangan tersebut. Mata semua yang hadir bercucuran air mata sebagai tanda penyesalan atas perlakukan buruk pada siswi tersebut.
Ini adalah satu dari sekian banyak peristiwa kemanusiaan yang memilukan di Palestina. Dan sangat mungkin juga terjadi di sekitar kehidupan kita. Kita tidak tahu, barang kali selama ini kita tidak peduli dengan mereka. Doa dan uluran tangan kita, setidaknya bisa sedikit meringankan penderitaan mereka. Khususnya saudara-saudara kita di Palestina yang hingga kini terus dilanda tragedi kemanusiaan akibat penjajahan Zionis Israel . (infopalestina)
Sesungguhnya setiap muslim itu bersaudara QS. 49:10, sahabat banyak saudara kita baik yg dekat maupun yang jauh memiliki kondisi yang tidak jauh dengan gadis kecil Palestina... bantulah dengan apa yg kita punya...